Jumat, 04 Desember 2009

Tunjangan Profesi Guru PNS Rp. 250.000,- Per/bulan berlaku 1 Jan 2009

Teman2 guru Pegawai Negeri Sipil se-Indonesia akan mendapat tambahan uang tunjangan sebesar Rp 250 ribu per bulan. Tambahan penghasilan ini hanya untuk guru yang selama ini belum mendapatkan tunjangan profesi.

Payung hukum bagi pencairan tunjangan profesi itu adalah Perpres 52/2009 tentang Tambahan Penghasilan Bagi Guru PNS. "Tadi pagi telah saya tandatangani," kata Presiden SBY.Kabar baik ini SBY sampaikan dalam sambutan di peringatan Hari Guru Nasional dan HUT ke-64, Selasa (1/12/2009). Acara digelar di arena tenis tertutup Senayan, Jakarta.

Presiden menjelaskan di dalam perpres itu dinyatakan besar nilai tunjangan profesi bagi guru adalah Rp 250 ribu per bulan. Aturan pemberian tunjangan ini dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 2009 yang artinya akan dibayarkan rapel untuk masa anggaran tahun ini."Dengan keluarnya Perpres itu, Alhamdulillah penghasilan guru terendah, dapat mencapai sekurangnya Rp 2 juta/bulan," imbuh SBY disambut meriah ribuan guru yang hadir di lokasi acara.

Berdasar data yang ada sekarang ini paling tidak ada 2,5 juta orang guru PNS belum mendapatkan tunjangan profesi. Sebanyak 2,1 juta di antaranya adalah guru di lingkungan Departemen Agama.
Alhamdulillah teman2 guru, mari kita semakin bersemangat mencerdaskan bangsa ini, dengan lebih profesional. Meskipun nilainya tidaklah begitu banyak, tapi kita terima niat baik Pemerintah ini. Jangan lihat nilainya, tapi Berkahnya disisi Allah SWT…

MA TOLAK KASASI UJIAN NASIONAL

Mahkamah Agung (MA) melarang ujian nasional (UN) yang digelar Depdiknas. Kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah ditolak MA.
Seperti tertuang dalam situs MA.go.id, MA memutuskan menolak kasasi perkara itu dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 itu diputus pada 14 September 2009. Perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini diajukan Kristiono dkk.
“Majelis hakim terdiri dari Ketua Majelis Hakim Mansyur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abas Said,” terang Kepala Sub Bagian (Kasubag) Humas MA, Andri Tristianto melalui telepon, Rabu (25/11).
Dalam isi putusan ini, para tegugat yakni presiden, wapres, mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan kualitas guru.
Depdiknas Hargai & Akan Pelajari Putusan MA
Depdiknas masih mempelajari putusan Mahkamah Agung (MA) terkait penolakan kasasi pelaksanaan ujian nasional (UN). Depdiknas masih menunggu salinan putusan.
“Kita menghargai putusan MA. Nanti kalau sudah dapat, kita akan pelajari apa putusannya,” kata Kepala Balitbang Depdiknas Prof Mansyur Ramli melalui telepon, Rabu (25/11).
Dia mengaku, meski sudah diputus pada 14 September, Depdiknas belum mendapat amar putusannya. Dan sebenarnya, putusan ini sama dengan putusan di pengadilan negeri pada 2007 dan pengadilan tinggi pada 2008.
“Kita hanya tahu amar putusannya, tolak. Ini seperti putusan di pengadilan negeri pada 2007 lalu, saat itu memerintahkan kepada pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru, dan penyelenggaraan UN,” terang Mansyur.
Pemerintah telah mengambil langkah-langkah konkrit, misalnya untuk gangguan psikologi pada anak, dengan melakukan perbaikan UN.
“Jadi bukan UN ditolak, tapi ada perbaikan. Sejak 2005, kita melakukan perbaikan UN, mengurangi stres peserta didik dengan melakukan ujian ulang, yang tidak lulus bisa mengikuti ujian nasional,” jelasnya.
BSNP: UN Penting untuk Tingkatkan Mutu Pendidikan
Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) masih mempelajari isi putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi pemerintah terkait ujian nasional (UN). Namun ditegaskan pelaksanaan UN penting untuk pendidikan nasional.
“Ujian Nasional sangat penting. Tanpa Ujian Nasional kualitas tidak bisa diukur secara nasional, hanya lokal saja,” ujar anggota BSNP Mungin Edi Wibowo dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (25/11).
Hasil putusan MA pada 14 September itu memang, seperti putusan di pengadilan tinggi dan pengadilan negeri yang meminta agar UN dilakukan dengan peningkatan kualitas guru serta sarana prasarana belajar.
“UN dilakukan untuk meningkatkan pemetaan mutu program satuan pendidikan dan juga sebagai proses seleksi, juga UN bisa sebagai bahan pertimbangan dan pemberian bantuan kepada yang sudah lebih ataupun masih kurang,” urainya.
Menurut Mungin, pihaknya belum menerima amar putusan itu, namuan setiap tahun pihaknya berupaya memperbaiki UN. “Yang namanya ujian ada yang lulus, ada yang tidak. Yang tidak lulus artinya kompetensi belum mencapai yang ditetapkan,” terangnya.
Pelaksanaan UN pun hanya melaksanakan Amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, di mana pada pasal 63 tentang standar nasional pendidikan, penilaian belajar dilakukan oleh guru, kemudian oleh satuan pendidkan sekolah, dan yang ketiga oleh pemerintah melalui UN.
“Dan dilakukan untuk menilai kompetisi peserta didik antara lain pada mata ilmu pengetahuan dan teknologi. Lulus ujian juga bagaimanapun bergantung pada anak belajar sungguh atau nggak, guru-guru memenuhi syarat atau tidak dan apakah belajar di kelas sudah sesuai materi dalam kurikulum,” tutupnya.
MA Larang UN, JK Sarankan Mendiknas Ajukan PK
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), M Nuh, disarankan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan agar Ujian Nasional (UN) dilarang. Sebab pelaksanaan UN berhasil meningkatkan mutu pendidikan nasional.
“Sebaiknya Mendiknas mengajukan PK,” kata Mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) saat ditemui detikcom di Mall Ratu Indah, Jalan Dr Ratulangi, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Rabu (25/11).
JK menjelaskan, pelaksanaan UN selama tiga tahun terakhir ini telah mencapai hasil yang luar biasa. Tanpa standardisasi nilai, lanjut Kalla, para pelajar tidak akan mau belajar keras.
JK juga membantah bahwa pemerintah lalai meningkatkan kualitas para guru. Menurutnya, pemerintah sangat serius melakukan hal tersebut.
“Selama tiga tahun terakhir ini pemerintah sudah serius meningkatkan kualitas guru. Saya juga tidak setuju jika UN dikatakan tidak manusiawi,” ujar JK.
Sebelumnya diberitakan, MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah atas gugatan mengenai penyelenggaraan UN yang diajukan Kristiono dkk. UN harus diperbaiki.
Dalam putusan ini, para tergugat yakni presiden, wapres, mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga dianggap lalai meningkatkan kualitas guru.
Penggugat Desak Pemerintah Patuhi Putusan MA
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan agar Ujian Nasional (UN) ditiadakan. Atas dikabulkan gugatan itu, penggugat yang menamakan diri Tim Advokasi Korban UN (Tekun) dan Eduvation Forum mendesak pemerintah untuk mematuhi putusan MA.
“Mendesak pemerintah untuk menghargai upaya hukum yang dilakukan masyarakat dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Meminta pemerintah tidak melakukan upaya hukum apapun,” ujar Koordinator Tekun Gatot Goei di sela-sela acara syukuran di kantor LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (25/11).
Tekun dan Education Forum menggelar tumpengan sebagai tanda bersyukur. Ada dua tumpeng di atas tampah masing-masing berdiameter 50 meter. Dua tumpeng itu dihiasi lauk pauk dan lalapannya.
Gatot mengatakan Presiden RI harus merevisi kebijakan UN dengan menghapusnya sebagai syarat utama kelulusan. Gatot menegaskan yang dipermasalahkan pihaknya sebagai masyarakat adalah menggunakan UN sebagai syarat satu satunya kelulusan.
“UN tidak berpengaruh sama sekali, anggaran tiap tahun dikeluarkan tapi tidak meninggalkan apapun kecuali masalah baru. Kita tidak mempermasalahkan kecuali ke perguruan tinggi. Yang kita permasalahkan adalah UN sebagai syarat satu-satunya kelulusan,” imbuhnya.
Menurut Gatot, untuk mengubah sistem itu, Mendiknas diminta membangun sistem pendidikan yang lebih baik jika UN ditiadakan dengan putusan kasasi MA ini. Gatot juga mendesak MA memberikan salinan putusan ke tim advokasi, karena hingga hari ini tim belum menerima pemberitahuan dan salinan putusan yang sudah diputus MA pada 14 September 2009.
Komisi X DPR Gelar Raker dengan Depdiknas Kamis
Terbitnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan para penggugat Ujian Nasional (UN) langsung ditanggapi oleh Komisi X DPR RI. Mereka akan menggelar rapat kerja dengan jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada Kamis (26/11) besok.
“Kita akan bahas ini dengan jajaran Diknas,” kata Ketua Komisi X dari Fraksi Partai Demokrat Mahyudin, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/11).
Mahyudin sendiri mengaku belum melihat salinan putusan yang keluar pada 14 September dua bulan lalu itu.
Sementara Wakil Ketua Komisi X Rully Chairul Azwar mengatakan, putusan MA harus dipatuhi. Setidaknya pemerintah harus meninjau ulang Peranturan Pemerintah (PP) tentang UN.
“Bagaimana standar nasional bisa terpenuhi, tapi angka ketidaklulusan absolut juga kecil. Tentunya ini sambil meningkatkan kualitas sekolah,” cetus politisi Partai Golkar ini. (disadur dari detik.com)

Rabu, 23 September 2009

Penelitian Tindakan Kelas

"PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DALAM MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA SMK NEGERI 1 GALESONG SELATAN TAKALAR" Oleh Herwelis, S.Pd

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat memacu proses perubahan dalam masyarakat dan mempengaruhi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, setiap kompetensi yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan memegang peranan penting, dan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang lain.

Kualitas pembelajaran dapat dilihat dalam dua segi yaitu kualitas proses dan kualitas hasil. Dari segi kualitas proses siswa masih cenderung passif dalam proses belajar mengajar, sementara diharapkan siswa dapat secara aktif terlibat dalam proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Dari segi kualitas hasil dapat dilihat dari prestasi belajar atau ketuntasan belajar yang dicapai siswa.

Sebagai tenaga pengajar/pendidik yang secara langsung terlibat dalam proses belajar mengajar, maka guru memegang peranan penting dalam menentukan peningkatan kualitas pembelajaran dan prestasi belajar yang akan dicapai siswanya. Salah satu kemampuan yang diharapkan dikuasai oleh pendidik dalam hal ini adalah bagaimana mengajar dengan baik agar tujuan pengajaran dapat dicapai semaksimal mungkin. Dalam hal ini penguasaan materi dan cara pemilihan pendekatan atau teknik pembelajaran yang sesuai dengan menentukan tercapainya tujuan pengajaran. Demikian juga halnya dengan proses pembelajaran. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, perlu disusun suatu strategi agar tujuan itu tercapai dengan optimal. Tanpa suatu strategi yang cocok, tepat dan jitu, tidak mungkin tujuan dapat tercapai. (Sanjaya, 2005: 99).

Pembelajaran yang selama ini dikenal adalah pembelajaran yang berbasis konvensional, yang mana pembelajaran berpusat pada guru. Guru adalah satu-satunya sumber informasi bagi siswa. Posisi siswa adalah pendengar dan hanya terkesan menjadi penerima tanpa harus bertanya tentang proses tersebut. Gaya mengajar seperti ini membuat kreatifitas siswa menjadi terhambat dan kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam belajar. Tanpa disadari indikator keberhasilan pendidikan adalah bahwa anak didik kita sejahtera jika aktivitas belajar menyenangkan dan menggairahkan.

Dalam dunia pendidikan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan ‘mengetahuinya’. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi ‘mengingat’ jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.

Belajar kooperatif merupakan kegiatan yang berlangsung dalam lingkungan belajar sehingga siswa dalam kelompok kecil saling berbagi ide-ide dan bekerja secara kolaboratif untuk menyelesaikan tugas akademik (Davidson dan Kroll dalam Tamrin, 2002). Dalam pembelajaran kooperatif siswa tidak dituntut untuk secara individual berupaya mencapai sukses atau berusaha mengalahkan rekan mereka, melainkan dituntut dapat bekerja sama untuk mencapai hasil bersama. Aspek sosial sangat menonjol dan siswa dituntut bertanggung jawab terhadap keberhasilan kelompoknya. Dalam belajar kooperatif siswa belajar dalam kelompok kecil yang bersifat heterogen dari segi gender, etnis, dan kemampuan akademik untuk saling membantu satu sama lain dalam mencapai tujuan bersama (Slavin, 1995: 2).

Pada pembelajaran konvensional siswa lebih ditekankan kepada hasil belajar dari sisi kognitif, sedangkan aspek lain yang berhubungan dengan afektif bahkan psikomotor cenderung terabaikan. Pembentukan kelompok memang terdapat dalam pembelajaran konvensional. Tetapi, pengelompokan tersebut hanya berorientasi untuk hasil akhir (penyelesaian tugas), kerja tiap kelompok tidak diperhatikan, keterampilan sosial tidak secara langsung diajarkan. Melalui penerapan pembelajaran kooperatif hal itu dapat direduksi, sehingga siswa terbiasa dalam interaksi sosial selain penyelesaian tugas.

Ada beberapa tipe pembelajaran kooperatif, di antaranya adalah STAD (Student Teams Achievement Division), Jigsaw, GI (Group Investigation), dan The Structural Approach. Di antara tipe-tipe tersebut, STAD merupakan yang paling sederhana, sehingga sangat cocok untuk guru yang baru memulai menerapkan pembelajaran kooperatif dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Kesederhanaan ini meliputi penyajian materi oleh guru dengan metode ceramah atau demonstrasi yang masih dimungkinkan dan kemampuan siswa mengkomunikasikan hasil kerja atau hasil diskusi melalui presentase ke seluruh kelas dilatihkan secara bertahap.

Hasil-hasil penelitian (Slavin, Linda Lundgren dalam Ibrahim, 2000: 16) menunjukan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar, dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman belajar individual ataupun kompetitif.

Merujuk pada hasil belajar siswa yang rendah, suatu penilaian yang bijak jika mengasumsikan banyak faktor sebagai penyebabnya. Sehingga kita (guru) tidak begitu saja mengklaim bahwa penyebab utamanya semata-mata karena rendahnya kemampuan siswa. Penyebab yang tidak tunggal itu, di antaranya karena kurang penguasaan materi oleh guru atau penggunaan strategi yang kurang tepat, dan kurangnya media.

Berdasarkan uraian di atas bahwa strategi dalam kegiatan pembelajaran turut menentukan hasil belajar seperti yang dikemukakan oleh Hudojo (1988: 96) bahwa strategi pembelajaran akan menentukan terjadinya proses belajar yang selanjutnya menentukan hasil belajar.

Dalam rangka penataan dan pemanfaatan lingkungan belajar, guru sebagai pengarah dan pemberi kemudahan dituntut untuk dapat melakukan aktivitas yakni :

a. Menyajikan sesuatu yang merupakan prasyarat terjadinya proses kognitif (asimilasi dan akomodasi) dalam diri siswa.

b. Menumbuhkembangkan proses berpikir yaitu merangsang, mengarahkan, memelihara, dan meningkatkan kadar atau intensitas proses berpikir siswa.

c. Membina interaksi sosial yaitu hubungan timbal balik antara individu dalam suasana kebersamaan.

d. Mengajar bagaimana belajar (Suherman dan Winataputra dalam Manoy, 1999:2-3)

Mewujudkan harapan bahwa dalam kegiatan pembelajaran guru mulai meninggalkan penggunaan pembelajaran konvensional, penyesuaian terhadap perubahan kurikulum, juga pembelajaran yang berorientasi siswa aktif (student oriented), membangkitkan interaksi multiarah, dan kemampuan sosial, serta memuat konstruktivisme, maka pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan suatu pilihan. Keberhasilan dari penerapan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini bergantung kepada peran dan kesiapan guru di dalamnya.

Peran guru tersebut sangat bergantung dari strategi pembelajaran yang digunakan, juga materi yang sedang diajarkannya. Seperti halnya pada materi Pelayanan Medis di Atas Kapal, melalui pembelajaran kooperatif (tipe Jigsaw), kekompleksan isi materi, siswa dalam belajar dapat saling memberi informasi dalam kelompoknya, bahkan antar kelompok. Salah satu anggota kelompok mungkin menguasai informasi A akan menjelaskannya kepada teman lainnya. Siswa lain dalam kelompok tersebut menguasai informasi B akan menjelaskan pula informasi tersebut. Demikian seterusnya sehingga informasi dan pengetahuan yang diperlukan akan dapat dipenuhi. Dengan demikian mereka akan merasa saling membutuhkan satu sama lain. Sifat menghargai orang lain akan terbentuk sebagai salah satu tujuan afektif dalam pembelajaran.

Tujuan pembelajaran yang lebih diutamakan selama ini dalam pembelajaran konvensional hanya tujuan kognitif. Sebaliknya, tujuan pembelajaran yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor menjadi sangat diperhatikan pada pembelajaran yang banyak digunakan pada saat ini. Olehnya itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul “ Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dalam Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa SMK Negeri 1 Galesong Selatan”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh penerapan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam meningkatkan aktivitas belajar siswa SMK Negeri 1 Galesong Selatan ?

2. Bagaimana pengaruh penerapan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam meningkatkan hasil belajar siswa SMK Negeri 1 Galesong Selatan ?

D. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian tindakan kelas ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaruh penerapan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam meningkatkan aktivitas belajar siswa SMK Negeri 1 Galesong Selatan.

2. Untuk mengetahui pengaruh penerapan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam meningkatkan hasil belajar siswa SMK Negeri 1 Galesong Selatan.

E. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik perorangan maupun lembaga sebagai berikut:

- Bagi siswa : dapat memotivasi siswa dalam kerjasama belajar kelompok serta meningkatkan keaktifan dan kreatifitas siswa sesuai dengan perkembangan berfikirnya.

- Bagi guru : dengan adanya penelitian, guru diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme dalam menyajikan materi di depan kelas dengan melibatkan siswa secara aktif. Melalui penelitian ini pula, diharapkan guru memperoleh informasi dan mengetahui strategi pembelajaran yang bervariasi yang dapat memperbaiki dan meningkatkan sistem pembelajaran di kelas.

- Bagi sekolah : hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang baik dalam rangka perbaikan pembelajaran sehingga prestasi belajar siswa SMK Negeri 1 Galesong Selatan dapat meningkat.

- Bagi Pengembangan Ilmu : Memperkaya hasil penelitian tentang penerapan strategi pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw sebagai bahan rujukan pembelajaran kooperatif model yang lain.

F. KAJIAN PUSTAKA

1. Pengertian Belajar

Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang dan dilandasi dengan adanya perubahan tingkah laku yang lebih baik. Perubahan yang ingin dicapai melalui belajar pada dasarnya adalah perubahan yang diperhatikan oleh individu dalam bentuk tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi individu dengan lingkungannya dengan melalui suatu yang mengarah kepada tujuan. Perubahan- perubahan yang dimaksud dapat berupa perubahan pengetahuan, sikap, keterampilan, kemampuan, pemahaman dan aspek-aspek lain yang ada pada diri individu yang belajar.

Untuk memperoleh pengertian tentang belajar terutama belajar di sekolah, perlu dirumuskan secara jelas pengertian belajar. Belajar didefinisikan oleh banyak ahli dengan rumusan berbeda, namun pada hakekatnya prinsip dan tujuannya sama.

Selanjutnya Slameto (1987:2) menyatakan bahwa :

“Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.

Pendapat lain yang dikemukakan oleh Hudoyo (1990:13) bahwa:

“Belajar adalah merupakan suatu usaha yang berupa kegiatan lain yang terjadi perubahan tingkah laku yang relatif tetap. Perubahan tingkah laku ditandai oleh kemampuan peserta didik mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilannya”.

Dari pengertian belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang berlangsung untuk mencapai tujuan perubahan tingkah laku. Perubahan ini merupakan hasil dan pengalaman yang disengajakan bukan karena faktor kebetulan atau tiba - tiba terjadi pada individu. Perubahan tingkah laku sebagai hasil dari latihan atau pengalaman seseorang dimana sebelum melakukan kegiatan belajar tersebut mereka tidak dapat melakukannya.

2. Model Pembelajaran kooperatif

Motivasi belajar siswa akan meningkat bila ada reevaluasi antara kebutuhan pribadi dengan situasi belajar yang berlangsung (Direktorat SLTP, 2000:6). Ada berbagai kebutuhan yang terkait dengan kegiatan belajar, di antaranya kebutuhan rasa aman. Menurut hasil penelitian Feldhusen dan Klausmeier (dalam Direktorat SLTP, 2000:7) bahwa suasana belajar yang penuh persaingan (kompetitif) menyebabkan para siswa menggunakan sebagian besar energinya untuk menunjang dan mempertahankan keamanan psikologis mereka.

Persaingan dan rasa aman mempengaruhi siswa dengan kadar yang bervariasi berdasarkan kemampuannya dalam belajar. Siswa yang memiliki kemampuan tinggi umumnya lebih dapat menilai ancaman yang timbul dari situasi persaingan. Siswa yang berkemampuan sedang (sebagian besar siswa berada pada level ini) dan siswa yang berkemampuan rendah menjadi semakin cemas sehingga kurang bebas berhubungan dengan guru, materi pelajaran, dan situasi belajar. Kebutuhan rasa aman hanya mungkin dipenuhi jika ada suasana belajar kooperatif yang memungkinkan siswa saling menolong dan saling memberi dorongan moril. Oleh karena itu, guru hendaknya menciptakan suasana belajar di kelas yang kooperatif.

Pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi pembelajaran dengan penekanan pada aspek sosial dalam pembelajaran dan menggunakan kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4 - 6 siswa yang heterogen untuk bersama-sama saling membutuhkan dalam menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan belajar, juga dalam memperoleh penghargaan. Lingkup penyelesaian tugas bukan saja dalam hal menjawab pertanyaan-pertanyaan, tetapi lebih dari itu siswa bernalar berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya dalam pemahaman atas materi yang dipelajarinya. Berarti pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang didasarkan pada paham konstruktivis. Dengan cakupan demikian memberikan peluang pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang melibatkan keaktifan siswa dalam membangun pengetahuannya. Sehingga pembelajaran kooperatif merupakan salah satu alternatif strategi pembelajaran yang dapat membuka fenomena baru dalam kegiatan pembelajaran baik bagi guru maupun siswa. Keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran akan membawa suatu perasaan baru bagi siswa yang akan merasa sangat dihargai keberadaannya. Hal ini disebabkan siswa merasa terlibat di dalam memahami pengetahuan dari materi yang dipelajarinya. Dengan demikian pembelajaran kooperatif menjadi suatu strategi pembelajaran yang dapat memotivasi belajar siswa.

Pembelajaran kooperatif menekankan pada kerja secara kolaboratif. Tentunya berhubungan dengan kelompok. Kelompok yang dibentuk hanya berkisar 4 – 5 orang, berarti kelompok yang dibentuk adalah kelompok kecil. Tujuan dibentuk kelompok kecil adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar.

Kita juga mengenal kelompok belajar dalam pembelajaran konvensional yang diarahkan pada penggunaan metode diskusi. Tetapi kelompok belajar tersebut berbeda dengan kelompok belajar kooperatif. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini :

Tabel 2.1. Perbedaan Kelompok Belajar Kooperatif dengan

Kelompok Belajar Konvensional

Kelompok Belajar Kooperatif

Kelompok Belajar Konvensional

Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu, dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif.

Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok.

Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan.

Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota kelompok lainnya hanya "mendompleng" keberhasilan "pemborong".

Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang memberikan bantuan.

Kelompok belajar biasanya homogen.

Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok

Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing-masing.

Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong-royong seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan.

Keterampilan sosial sering tidak secara langsung diajarkan.

Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok.

Pemantauan melalui onservasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung.

Guru memperhatikan secara proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.

Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.

Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai)

Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.

(Depdikbud, 2000:90)

Selain siswa belajar secara berkelompok dalam pembelajaran kooperatif (seperti telah diuraikan di atas) terdapat beberapa ciri dari pembelajaran kooperatif yaitu :

a. Setiap anggota memiliki peran.

b. Terjadi hubungan interaksi langsung di antara para siswa.

c. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga anggota sekelompoknya.

d. Guru membantu para siswa untuk mengembangkan keterampilan interpersonal kelompok.

e. Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan (Carin, 1993:63).

Suatu strategi pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Demikian pula dengan pembelajaran kooperatif. Kelebihan dari pembelajaran kooperatif menurut Hill & Hill (1993: 1-6) di antaranya sebagai berikut :

1. Meningkatkan prestasi siswa.

2. Memperdalam pemahaman siswa.

3. Menyenangkan siswa.

4. Mengembangkan sikap positif siswa.

5. Mengembangkan sikap kepemimpinan.

6. Mengembangkan sikap menghargai diri sendiri.

7. Mengembangkan rasa saling memiliki.

8. Mengembangkan keterampilan untuk masa depan.

Menurut Slavin (dalam Ratumanan, 2002:110-111) keuntungan lain yang diperoleh dari penerapan pembelajaran kooperatif, di antaranya adalah :

1. Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok.

2. Siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil bersama.

3. Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok.

4. Interaksi antar siswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat.

Selain keuntungan dan kelebihan yang telah diuraikan di atas pembelajaran kooperatif memiliki keunggulan sehingga sangat penting untuk diterapkan. Alasan penting ini ditujukan terutama bagi efek pembelajaran tersebut bagi siswa yang berdampak positif. Hal ini diuraikan oleh Johnson & Johnson (1994:30) bahwa “Research indicates, however, that cooperative learning should be used whenever teachers want students to learn more, like school better, like each other better, have higher self-esteem, and learn more effective social skills”.

Selain kelebihan tersebut pembelajaran kooperatif juga memiliki kekurangan-kekurangan, menurut Dees (1991:411) di antaranya yaitu :

Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk siswa sehingga sulit mencapai target kurikulum.

Membutuhkan waktu yang lama untuk guru sehingga pada umumnya guru tidak mau menggunakan pembelajaran kooperatif.

Membutuhkan kemampuan khusus guru sehingga tidak semua guru dapat melakukan atau menggunakan pembelajaran kooperatif.

Menuntut sifat tertentu dari siswa, misalnya sifat suka bekerja sama.

Walaupun kelemahan-kelemahan tersebut melekat pada pembelajaran kooperatif, tetapi dapat diminimalkan dengan beberapa tindakan alternatif. Untuk kelemahan yang pertama dan kedua, dalam pembelajaran kooperatif digunakan LKS yang memungkinkan siswa dapat bekerja secara efektif dan efisien. Bagi guru, penggunaan LKS dapat mengurangi dominasi guru dalam menjelaskan materi. Berarti alokasi waktu yang digunakan untuk menjelaskan dapat dikurangi. Selain itu, pengelolaan kelas ke arah siswa aktif dengan segera dapat diwujudkan. Selain itu pembagian kelompok dilakukan sebelum kegiatan pembelajaran dan guru telah menata kelas sesuai dengan kelompok yang ada. Dengan demikian terjadi penghematan waktu yang dibutuhkan. Sedangkan untuk kelemahan ketiga, pada dasarnya guru dapat dilatih terlebih dahulu, sehingga guru telah memiliki kemampuan yang diharapkan. Demikian pula untuk kelemahan keempat, dengan digunakannya pendekatan psikologis, pembelajaran kooperatif akan membentuk sifat-sifat tertentu yang diinginkan sekaligus dapat dilatih. Hal ini didukung dengan pemberian motivasi dan tantangan tugas serta tanggung jawab yang dibebankan kepada tiap kelompok melalui kerja sama anggota-anggotanya.

Guru hendaknya jangan mengasumsikan bahwa siswa menguasai keterampilan-keterampilan sosial atau kelompok untuk bekerja secara kooperatif. Siswa mungkin tidak mengetahui bagaimana saling berinteraksi, bagaimana mengembangkan rencana kerja kooperatif, bagaimana mengkoordinasi sumbangan-sumbangan dari berbagai kelompok, atau bagaimana menilai kemajuan kelompok dalam tugas-tugas tertentu. Untuk menjadikan pembelajaran kooperatif berlangsung sesuai dengan harapan, guru perlu mengajarkan keterampilan-keterampilan kooperatif yang diperlukan.

Ada tiga tingkatan keterampilan kooperatif yang dapat dilatihkan menurut Lungdren (dalam Widada, 1999:32) yaitu keterampilan kooperatif tingkat awal, keterampilan kooperatif tingkat menengah, dan keterampilan kooperatif tingkat mahir. Tetapi dalam tesis ini hanya diambil beberapa dari masing-masing tingkatan tersebut yang dianggap sangat penting, yaitu :

1. Keterampilan kooperatif tingkat awal:

a. Menggunakan kesepakatan dan menghargai kontribusi.

Memiliki kesepakatan yang dijadikan komitmen dalam meningkatkan hubungan kerja kelompok. Saat anggota mengajukan pendapat, ide, atau suatu jawaban patut diperhatikan atau dikerjakan oleh anggota lain dalam kelompok setelah disepakati. Implikasinya, dalam kelompok akan menghasilkan perasaan kebersamaan dalam kelompok tersebut. Merasa satu dalam kelompok.

b. Mendorong partisipasi.

Mendorong partisipasi berarti memotivasi semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok. Jika satu atau dua anggota tidak berpartisipasi atau hanya memberikan sedikit kontribusi, maka tugas dari kelompok tersebut tidak akan terselesaikan tepat pada waktunya atau hasilnya kurang memuaskan.

c. Mengambil giliran dan berbagi tugas.

Menggantikan seseorang yang mengemban tugas tertentu dan mengambil tanggung jawab tertentu dalam kelompok. Implikasinya, setiap anggota kelompok akan tumbuh rasa sebagai anggota kelompok kerja untuk mencapai suatu tujuan bersama.

d. Berada dalam tugas dan kelompok.

Meneruskan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga akan terselesaikan pada waktunya dengan ketelitian yang lebih baik dan kreatif. Berada dalam kelompok berarti tetap dalam kelompok selama kegiatan berlangsung. Implikasinya, kelompok akan lebih bangga terhadap peningkatan efisiensi dan efektifitas dalam mempersiapkan dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan.

2. Keterampilan kooperatif tingkat menengah:

a. Mendengarkan dengan aktif.

Jika mendengar dengan aktif maka siswa akan mampu menggunakan pesan fisik dan lisan, sehingga pembicara akan tahu bahwa orang lain secara giat sedang menyerap informasi. Pengertian dari suatu konsep akan meningkat dan hasil kelompok akan menunjukkan tingkat pemikiran dan komunikasi yang tinggi. Sebagai implikasinya, perasaan bangga bagi siswa yang memberikan partisipasi akan merasa bahwa apa yang mereka sumbangkan itu berharga, paling tidak ia akan merasa dihargai pendapatnya.

b. Bertanya.

Maksud dari bertanya adalah meminta atau menanyakan suatu informasi atau penjelasan lebih lanjut. Dengan bertanya sesorang yang sedang tidak aktif dapat dimotivasi untuk ikut serta, termasuk anggota kelompok yang pemalu. Dari hal ini berarti memperbaiki kemampuan komunikasi, juga interaksi.

c. Menafsirkan.

Menafsirkan berarti menyatakan kembali informasi dengan kalimat berbeda. Ini akan menimbulkan pemahaman yang lebih, sebab apa yang diperoleh diungkapkan dengan cara yang berbeda.

d. Memeriksa ketepatan.

Membandingkan jawaban dan memastikan bahwa jawaban itu benar. Pekerjaan akan cenderung bebas dari kesalahan dan kekurang tepatan. Pemahaman akan berkembang. Hal ini berakibat siswa menjadi kritis dan hasil kelompok akan lebih baik.

3. Keterampilan kooperatif tingkat mahir:

Mengelaborasi, maksudnya adalah mampu memperluas konsep, kesimpulan, dan pendapat-pendapat yang berhubungan dengan topik tertentu. Keterampilan ini penting karena akan menghasilkan pemahaman yang lebih dalam dan prestasi yang lebih tinggi.

Semua keterampilan kooperatif tersebut (tidak langsung keseluruhan) dilatihkan guru dalam kegiatan pembelajaran, tetapi dapat dipilih sedikit demi sedikit yang dianggap sesuai dengan kepentingan hingga mencapai harapan dan seluruh keterampilan kooperatif.

3.Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada dasarnya meliputi kegiatan pengajaran ; mengajar, belajar dalam tim, tes dan ada pemhargaan tim.. Type ini dikembangkan oleh Elliot Aronson dan adaptasi Slavin. Pada type ini materi pembelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks. Setiap anggota bertanggung jawab untuk mempelajari bagian tertentu dari teks tersebut. Dari sini muncul istilah tim ahli. Jadi ada kelompok asal dan ada kelompok ahli. Dan tiap kelompok ahli memiliki satu anggota dari tim asal. Setelah tim ahli menguasai materi yang diberikan, selanjutnya anggota tim ahli kembali ke kelompok asal dan mengajarkan apa yang dipelajari dan didiskusikan di dalam kelompok ahlinya untuk diajarkan kepada teman kelompok ahli.

Pada tipe Jigsaw setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk menentukan materi pelajaran yang ditugaskan kepadanya. Anggota dari kelompok lain yang memperoleh tugas topik yang sama berkumpul (sebagai kelompok ahli) dan berdiskusi. Kemudian masing-masing anggota kelompok ahli mengajarkan materi tersebut kepada teman sekelompoknya

4.. Aktivitas Belajar Siswa

Pada dasarnya belajar adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku. Tidak ada belajar tanpa aktivitas, sejalan dengan itu maka dapatlah dikatakan bahwa aktivitas merupakan prinsip atau asas dalam interaksi belajar mengajar.

Suatu proses belajar mengajar dikatakan baik, bila proses tersebut dapat membangkitkan aktivitas belajar yang efektif. Meskipun syarat utama suksesnya pelajaran adalah "hasilnya", akan tetapi harus diingat bahwa dalam menilai atau menterjemahkan "hasil" itupun harus secara cermat dan tepat, yaitu dengan memperhatikan bagaimana "prosesnya". Dalam proses inilah siswa akan beraktivitas. Oleh karena itu, guru perlu menimbulkan aktivitas belajar siswa baik yang bersifat fisik maupun mental.

Pada saat kegiatan belajar, kedua aktivitas ini harus saling terkait. Artinya bahwa antara aktivitas fisik dengan aktivitas mental harus serasi agar belajar menjadi optimal.

Sehubungan dengan hal ini, maka Piaget (Sardiman, 2000:98) menerangkan bahwa seorang anak itu berpikir sepanjang ia berbuat. Tanpa perbuatan berarti anak itu tidak berfikir. Oleh karena itu, agar anak berpikir sendiri, maka aktivitas belajar perlu dipacu agar mendukung proses belajarnya".

Aktivitas belajar banyak macamnya. Para ahli mencoba mengadakan klasifikasi, antara lain Paul D. Dierch membagi kegiatan belajar menjadi 8 kelompok, sebagai berikut:

(1) Kegiatan-kegiatan visual: Membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, mengamati orang lain bekerja atau bermain.

(2) Kegiatan-kegiatan lisan(oral): Mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, beerwawancara, diskusi.

(3) Kegiatan-kegiatan mendengarkan: Mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan instrumen musik, mendengarkan siaran radio.

(4) Kegiatan-kegiatan menulis: Menulis cerita, menulis laporan, memriksa karangan, mebuat sketsa, mengerjakan tes, mengisi angket.

(5) Kegiatan-kegiatan menggambar: Menggambar, membuat grafik, diagram, peta, pola.

(6) Kegiatan-kegiatan metrik: Melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan (simulasi).

(7) Kegiatan-kegiatan mental: Merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, menemukan hubungan-hubungan, membuat keputusan.

(8) Kegiatan-kegiatan emosional: Minat, membedakan, berani, tenang dan sebagainya.(Burton dalam Marni, 2002 : 8)

Aktivitas tersebut di atas tidak saling terpisahkan satu sama lain. Untuk mempelajari suatu mata pelajaraan memerlukan aktivitas belajar yang saling mendukung.

Menurut Nasution (Firman Daus, 2000 : 10), aktivitas belajar dapat meliputi aktivitas visual, lisan, pendengaran, menulis, menggambar, matrik, mental maupun aktivitas motorik. Untuk mempelajari suatu mata pelajaran aktivitas belajar sangat menunjang.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka jelaslah bahwa aktivitas belajar adalah faktor yang paling dominan dalam pengajaran. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa hasil belajar yang optimal dapat tercapai melalui proses belajar yang aktif, dengan mengarahkan segala kemampuan dasar yang dimilikinya demi memperoleh hasil belajar yang diharapkan.

4. Hasil Belajar Siswa

Hasil belajar adalah prestasi yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar yang berkenaan dengan materi suatu mata pelajaran. Hasil belajar ini dapat diukur dengan menggunakan tes hasil belajar. Sedangkan menurut Winkel (dalam Bani, 2004), prestasi sebagai bukti keberhasilan usaha yang dapat dicapai. Belajar merupakan suatu proses yang diarahkan kepada pencapaian suatu tujuan. Tujuan yang dimaksud adalah hasil belajar. Sehingga kualitas hasil belajar adalah mutu atau tingkat prestasi yang dicapai siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar.

Hasil belajar tidak dapat dipisahkan dari apa yang terjadi dalam kegiatan belajar baik di kelas, di sekolah maupun di luar sekolah. Apa yang dialami siswa dalam pengetahuan kemampuannya merupakan apa yang diperoleh. Pengalaman tersebut pada gilirannya dipengaruhi pula oleh faktor - faktor, seperti kualitas, interaksi antar siswa dan guru serta karakteristik siswa pada waktu mendapatkan pengalaman tersebut.

Untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan siswa dalam menguasai bahan pelajaran yang dipelajarinya diperlukan suatu alat ukur. Salah satu bentuk alat ukur yang sering digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa terhadap penguasaan bahan pelajaran adalah berupa tes..

Hudoyo (1990:139) memberikan batasan bahwa :

“Hasil belajar adalah proses berpikir menyusun hubungan hubungan antara bagian bagian interaksi yang telah diperoleh sebagai pengertian karena itu orang jadi memahami dan menguasai hubungan- hubungan tersebut sehingga orang itu dapat menampilkan pemahaman dan penguasaan bahan pelajaran yang dipelajari”.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil yang dicapai siswa dalam pelajaran setelah melakukan kegiatan belajar yang diukur langsung dengan menggunakan tes sebagai pengukuran keberhasilan belajar atau sejauhmana siswa telah menguasai bahan pelajaran yang telah dipelajari.

G. METODE PENELITIAN

1. Setting Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan rancangan penelitian tindakan (research action). Penelitian ini merupakan bentuk penelitian yang bersifat tindakan, yang dilakukan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam PBM dengan penerapan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

Subjek penelitian adalah siswa kelas 10 jurusan NKPI SMK Negeri 1 Galesong Selatan. Dengan jumlah 30 orang siswa.

2. Rencana Tindakan

Penelitian ini bersifat kajian tindakan kelas, rencana tindakan berupa intervensi kegiatan belajar mengajar di kelas dengan penerapan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Untuk maksud tersebut tindakan akan dilaksanakan selama enam kali pertemuan. Setiap pertemuan menggunakan waktu 3 x 45 menit. Penelitian direncanakan selama dua siklus, dengan sasaran perbaikan adalah aktivitas dan hasil belajar siswa dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Oleh karena itu yang terlibat langsung melakukan perbaikan adalah siswa SMK Negeri 1 Galesong Selatan.

3 Tahap Pelaksanaan

a. Tahap Persiapan Tindakan

Sebelum melakukan tindakan dalam penelitian ini, terlebih dahulu diadakan persiapan antara lain, sebagai berikut.

1) Menganalisis materi pelajaran yang akan diajarkan dalam pelaksanaan tindakan.

2) Mempelajari bahan yang diajarkan dari berbagai sumber

3) Membuat rencana pembelajaran dengan menerapkan pendekatan kooperatif tipe Jigsaw.

4) Membuat instrumen dan alat observasi selama pembelajaran.

5) Merumuskan rencana pembelajaran yang berisi langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw untuk tindakan pada Siklus I.

b. Tahap Pelaksanaan Tindakan

Pelaksanaan tindakan setiap siklus dalam penelitian ini, mengikuti langkah-langkah/skenario sebagai berikut.

Siklus I : - Melaksanakan tindakan berdasarkan rencana pembelajaran yang telah disiapkan.

- Memantau dan mengobservasi tindakan yang dilaksanakan dengan menggunakan lembar observasi atau pengamatan

- Mengevaluasi hasil pemantauan

- Mengadakan refleksi I

Siklus II : - Memperbaiki / merencanakan tindakan baru II berdasarkan rekomendasi refleksi I

- Melaksanakan tindakan perbaikan II

- Memantau dan mengobservasi tindakan yang dilaksanakan

- Mengadakan refleksi II

Pelaporan :

- Menganalisis hasil penelitian dari setiap siklus.

- Menyusun laporan hasil penelitian, implementasi dan tindak lanjut jika diperlukan.

c. Tahap Pelaksanaan Pengamatan

Pelaksanaan pengamatan akan dilakukan selama proses tindakan diberikan, dalam pelaksanaan penelitian akan mengamati aktivitas siswa dengan menggunakan lembar observasi aktivitas siswa.

d. Tahap Analisis Data

Analisis akan dilakukan setiap akhir pembelajaran berdasarkan hasil yang diperoleh selama pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan dan perumusan analisis perbaikan akan dianalisis untuk refleksi perbaikan tindakan berikutnya.

4.. Cara Pengumpulan Data

Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dari siswa yang menjadi subjek penelitian, yaitu siswa Kelas 1 NKPI SMK Negeri 1 Galesong Selatan.

Jenis Data

Data kualitatif

Data kuantitatif

Cara Pengambilan Data

Lembar aktivitas siswa, digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas yang dilakukan siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Lembar observasi ini memuat aspek-aspek pengamatan : mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru atau teman dengan aktif, membaca (buku siswa), menulis (yang relevan dengan kegiatan pembelajaran), mengajukan pertanyaan kepada teman atau guru yang berkaitan dengan materi, berada dalam tugas, mengambil giliran dan berbagi tugas, mendorong partisipasi, mengkomunikasikan hasil kerja kelompok, merangkum jawaban teman sekelompok, mengerjakan kuis, dan prilaku yang tidak relevan dengan kegiatan pembelajaran. Instrumen ini diberikan kepada seorang pengamat dan pengamat tersebut menuliskan kode aspek pengamatan yang muncul pada kolom sesuai periode waktu selama kegiatan pembelajaran berlangsung dianalisis secara kualitatif.

Data hasil belajar diperoleh dengan memberikan tes akhir kepada siswa setiap akhir siklus dianalisis secara kuantitatif.

5.. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Untuk analisis kualitatif diperoleh dari lembar observasi yang digunakan dalam penelitian yaitu lembar observasi keaktifan siswa sedangkan analisis kuantitatif digunakan statistik deskriptif untuk melihat persentase hasil belajar siswa dari tes yang diberikan.

  1. DAFTAR PUSTAKA

Arends, Richard I. 1997. Classroom Instruction and Management. Mc Graw-Hill, New York USA.

Arikunto, Suharsimi. 1991. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.

Direktorat SLTP. 2000. Memahami dan Menangani Siswa dengan Problem dalam Belajar. Depdiknas, Jakarta.

Ibrahim, Muslimin dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. University Press, Surabaya.

Ratumanan, T. Gerson. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Unesa University Press, Surabaya.

Rusyan, T.A, dkk. 1989. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Widada, Wahyu. 1999. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika SMU yang Berorientasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw. Tesis. IKIP Surabaya, Surabaya.

Zainul, Asmawi dan Noehi Nasoetion. 1997. Program Pengembangan Keterampilan Teknik Instruksional (Pekerti) Untuk Dosen Muda. Penilaian Hasil Belajar. Jakarta, P2T Universitas Terbuka Dirjen Dikti Depdikbud.

Senin, 14 September 2009

WAHANA PENDIDIKAN INDONESIA

WAHANA PENDIDIKAN INDONESIA

GURU MALAS MENELITI

Dari 10 indikator guru dianggap profesional, salah satunya adalah mempunyai karya tulis. Namun hal ini jarang dilakukan oleh guru.
kenapa?
Mengapa?
Ada apa dengan pendidik kita?
INOVASI PENDIDIKAN
Pendidikan adalah ssuatu yang menjadi kebutuhan. Jepang ketika kalah perang, dan banyak tentara dan wargannya meninggal, pertanyaan pertama dari pimpinannnya adalah Berapa Guru-Guru kita yang masih hidup, Ini artinya apa, bahwa begitu besar perhatian negara terhadap guru. Karena merekala yang menjadi tulang punggung kemajuan pendidikan suatu negara. Bila guru-guru masih banyak dan mereka semua melaksanaakan tugas mendidiknya, maka tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk menciptakan SDM-SDM yang handal. Dan ternyata benar, Jepang yang hancur ketika di Bom pada perang dunia ketua tahun 1942, Kini bangkit dengan Negara yang paling maju dalam segala hal. Demikian pula dengan Malasia, Malasia dulu meminta guru-guru dari Indonesia. Tapi sekarang apa yang terjadi, justru Malasia lebih maju dari kita soal pendidikan.
Jadi Indonesia ketika ingin maju, maka mau tidak mau haruslah lebih memproritaskan pendidikan. Apakah itu dari peserta didiknya, tenaga pendidiknya, ataukan sarana prasana pendidikan yang dilengkapi. Nanti disambung lagi. Ini masih konsep...