Selasa, 30 Maret 2010

Penelitian Tindakan Kelas :Kooperatif Tutor Sebaya dalam Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Matematika Siswa

Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tutor Sebaya dalam Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas III Otomotif 2 SMK Negeri 1 Galesong Selatan. Oleh Herwelis & Haerati.

A. Latar Belakang Masalah
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat memacu proses perubahan dalam masyarakat dan mempengaruhi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, setiap kompetensi yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan memegang peranan penting, dan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang lain.
Pendidikan sebagai media strategis pengembangan sumber daya manusia masih menjadi sorotan sampai saat ini, kualitas dan kuantitas pendidikan masih tetap merupakan masalah yang paling menonjol dalam setiap pembaharuan sistem pendidikan nasional. Kedua masalah tersebut sulit ditangani secara simultan, sebab dalam upaya peningkatan kualitas dan kuantitas kadang terabaikan, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, pemerintah khususnya Departemen Pendidikan Nasional telah berusaha melakukan berbagai upaya mengatasi masalah pendidikan. Upaya tersebut hampir mencakup semua komponen pendidikan, seperti perbaikan kurikulum, peningkatan kualitas guru, pengadaan sarana dan prasarana belajar, penyempurnaan sistem penilaian serta usaha-usaha lain yang berkaitan dengan peningkatan kualitas penbelajaran.
Kualitas pembelajaran dapat dilihat dalam dua segi yaitu kualitas proses dan kualitas hasil. Dari segi kualitas proses siswa masih cenderung passif dalam proses belajar mengajar, sementara diharapkan siswa dapat secara aktif terlibat dalam proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Dari segi kualitas hasil dapat dilihat dari prestasi belajar atau ketuntasan belajar yang dicapai siswa.
Demikian juga halnya dengan proses pembelajaran. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, perlu disusun suatu strategi agar tujuan itu tercapai dengan optimal. Tanpa suatu strategi yang cocok, tepat dan jitu, tidak mungkin tujuan dapat tercapai. (Sanjaya, 2005: 99).
Pembelajaran yang selama ini dikenal adalah pembelajaran yang berbasis konvensional, yang mana pembelajaran berpusat pada guru. Guru adalah satu-satunya sumber informasi bagi siswa. Posisi siswa adalah pendengar dan hanya terkesan menjadi penerima tanpa harus bertanya tentang proses tersebut. Gaya mengajar seperti ini membuat kreatifitas siswa menjadi terhambat dan kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam belajar. Tanpa disadari indikator keberhasilan pendidikan adalah bahwa anak didik kita sejahtera jika aktivitas belajar menyenangkan dan menggairahkan.
Belajar kooperatif merupakan kegiatan yang berlangsung dalam lingkungan belajar sehingga siswa dalam kelompok kecil saling berbagi ide-ide dan bekerja secara kolaboratif untuk menyelesaikan tugas akademik (Davidson dan Kroll dalam Tamrin, 2002). Dalam pembelajaran kooperatif siswa tidak dituntut untuk secara individual berupaya mencapai sukses atau berusaha mengalahkan rekan mereka, melainkan dituntut dapat bekerja sama untuk mencapai hasil bersama. Aspek sosial sangat menonjol dan siswa dituntut bertanggung jawab terhadap keberhasilan kelompoknya. Dalam belajar kooperatif siswa belajar dalam kelompok kecil yang bersifat heterogen dari segi gender, etnis, dan kemampuan akademik untuk saling membantu satu sama lain dalam mencapai tujuan bersama (Slavin, 1995: 2). Pembelajaran kooperatif ini dapat diterapkan pada berbagai mata pelajaran termasuk mata pelajaran yang selama ini dianggap sulit oleh siswa yakni matematika.
Berdasarkan pengalaman peneliti selama mengajar di SMK Negeri 1 Galesong Selatan, penguasaan matematika siswa kelas III masih tergolong rendah. Hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa disamping minat belajar siswa yang masih rendah juga proses belajar mengajar yang diterapkan selama ini masih lebih banyak menggunakan metode konvensional. Olehnya itu peneliti sekaligus guru mata pelajaran matematika bermaksud melakukan penelitian tindakan kelas dengan mencoba menerapkan model pembelajaran kooperatif tutor sebaya sebagai tindak lanjut dari pelatihan manajemen pembelajaran efektif yang telah diikuti oleh penulis. Tutor Sebaya dapat dilakukan mengingat di dalam satu kelas siswa mempunyai taraf kecerdasan yang heterogen, dimana terdapat siswa yang pandai, sedang, dan kurang pandai. Siswa yang pandai itulah yang difungsikan sebagai tutor sebaya. Metode belajar kelompok dengan tutor sebaya dapat diterapkan, karena ada kalanya siswa lebih mudah menerima penjelasan yang diberikan oleh kawan-kawan sebayanya. Bantuan tutor sebaya ini, diharapkan nantinya siswa dapat menanyakan hal-hal yang kurang dipahaminya, sampai siswa tersebut benar-benar mengerti.
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul “ Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tutor Sebaya dalam Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas III Otomotif 2 SMK Negeri 1 Galesong Selatan”.
B. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan judul dan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini akan dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh penerapan kooperatif tutor sebaya dalam meningkatkan aktivitas belajar matematika siswa kelas III Otomotif 2 SMK Negeri 1 Galesong Selatan ?
2. Bagaimana pengaruh penerapan kooperatif tutor sebaya dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas III Otomotif 2 SMK Negeri 1 Galesong Selatan ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh penerapan kooperatif tutor sebaya dalam meningkatkan aktivitas belajar matematika siswa kelas III Otomotif 2 SMK Negeri 1 Galesong Selatan.
2. Untuk mengetahui pengaruh penerapan kooperatif tutor sebaya dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas III Otomotif 2 SMK Negeri 1 Galesong Selatan ?
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi siswa :
• Dapat mengatasi atau meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa dalam proses pembelajaran.
• Dapat mengembangkan dan meningkatkan keterampilan anak didik dalam proses pembelajaran.
2. Bagi guru : dengan adanya penelitian ini, guru diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme dalam menyajikan materi di depan kelas dengan melibatkan siswa secara aktif. Melalui penelitian ini pula, diharapkan guru memperoleh informasi dan mengetahui strategi pembelajaran yang bervariasi yang dapat memperbaiki dan meningkatkan sistem pembelajaran di kelas.
3. Bagi sekolah : hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan yang baik pada sekolah itu sendiri, untuk meningkatkan hasil belajar matematika Kelas III khususnya dan sekolah lain pada umumnya.
4. Bagi Pengembangan Ilmu : Memperkaya hasil penelitian tentang penerapan strategi pembelajaran kooperatif tutor sebaya sebagai bahan rujukan pembelajaran kooperatif model yang lain.





KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN

A. Kajian Teori
1. Belajar Matematika dan Prosesnya
Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang dan dilandasi dengan adanya perubahan tingkah laku yang lebih baik. Perubahan yang ingin dicapai melalui belajar pada dasarnya adalah perubahan yang diperhatikan oleh individu dalam bentuk tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi individu dengan lingkungannya dengan melalui suatu yang mengarah kepada tujuan. Perubahan- perubahan yang dimaksud dapat berupa perubahan pengetahuan, sikap, keterampilan, kemampuan, pemahaman dan aspek-aspek lain yang ada pada diri individu yang belajar.
Menurut Ali (1987 : 6-7) mengemukakan bahwa belajar secara optimal dapat dicapai bila siswa aktif di bawah bimbingan guru yang aktif pula. Sedangkan menurut Slameto (1991 : 36) mengemukakan bahwa :
“Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.

Pengertian lain tentang belajar dikemukakan langsung oleh Idrus (1993 :5) bahwa belajar merupakan kegiatan yang aktif dalam bentuk melihat, mengamati, memikirkan, dan memahami sesuatu yang dipelajari. Dengan belajar akan terjadi perubahan–perubahan dalam kebiasaan, kecakapan, sikap, dan tingkah laku, keterampilan, pengetahuan, dan pemahaman.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang aktif dan bertujuan untuk mencapai hasil yang maksimal baik berupa kemampuan, keterampilan, serta pemahaman dengan adanya perubahan–perubahan pada diri individu yang melakukan kegiatan belajar, serta perubahan tingkah laku, sikap dan pengetahuan yang memilikinya.
Selanjutnya objek belajar yang sangat menarik dan memberikan tantangan yaitu matematika, dimana matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan serta operasinya, melainkan juga aturan yang menetapkan langkah–langkah operasinya. Lebih dari itu matematika juga berkenaan dengan ide–ide atas konsep yang tersusun secara berurut dan penalarannya secara deduktif, sehingga matematika juga merupakan ilmu yang bersifat abstrak yang mempelajari tentang ruang dan bilangan yang keduanya berhubungan secara teratur.
James dan James (1976) dalam kamus matematikanya mengatakan bahwa :
Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep–konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi kedalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri,.

Sedangkan menurut Hudoyo (1990:3-4) menyatakan bahwa :
“Matematika berkenaan dengan ide–ide (gagasan), struktur–struktur, dan hubungannya yang diatur secara logika sehingga matematika itu berkaitan dengan konsep–konsep abstrak. Sesuatu kebenaran matematika dikembangkan berdasarkan atas alasan logika dengan pembuktian deduktif”.

Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar matematika adalah kegiatan yang aktif dari seorang pelaku kegiatan belajar untuk berusaha melakukan perubahan pada dirinya baik sikap, tingkah laku, serta kemampuannya dalam berfikir secara logik dalam matematika, sehingga hal–hal yang menyangkut ide–ide, konsep–konsep serta sifat dalam matematika akan dipahaminya.
2. Aktivitas Belajar Siswa
Pada dasarnya belajar adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku. Tidak ada belajar tanpa aktivitas, sejalan dengan itu maka dapatlah dikatakan bahwa aktivitas merupakan prinsip atau asas dalam interaksi belajar mengajar.
Suatu proses belajar mengajar dikatakan baik, bila proses tersebut dapat membangkitkan aktivitas belajar yang efektif. Meskipun syarat utama suksesnya pelajaran adalah "hasilnya", akan tetapi harus diingat bahwa dalam menilai atau menterjemahkan "hasil" itupun harus secara cermat dan tepat, yaitu dengan memperhatikan bagaimana "prosesnya". Dalam proses inilah siswa akan beraktivitas. Oleh karena itu, guru perlu menimbulkan aktivitas belajar siswa baik yang bersifat fisik maupun mental.
Pada saat kegiatan belajar, kedua aktivitas ini harus saling terkait. Artinya bahwa antara aktivitas fisik dengan aktivitas mental harus serasi agar belajar menjadi optimal.
Sehubungan dengan hal ini, maka Piaget (Sardiman, 2000:98) menerangkan bahwa seorang anak itu berpikir sepanjang ia berbuat. Tanpa perbuatan berarti anak itu tidak berfikir. Oleh karena itu, agar anak berpikir sendiri, maka aktivitas belajar perlu dipacu agar mendukung proses belajarnya".
Aktivitas belajar banyak macamnya. Para ahli mencoba mengadakan klasifikasi, antara lain Paul D. Dierch membagi kegiatan belajar menjadi 8 kelompok, sebagai berikut:
(1) Kegiatan-kegiatan visual: Membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, mengamati orang lain bekerja atau bermain.
(2) Kegiatan-kegiatan lisan(oral): Mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, beerwawancara, diskusi.
(3) Kegiatan-kegiatan mendengarkan: Mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan instrumen musik, mendengarkan siaran radio.
(4) Kegiatan-kegiatan menulis: Menulis cerita, menulis laporan, memriksa karangan, mebuat sketsa, mengerjakan tes, mengisi angket.
(5) Kegiatan-kegiatan menggambar: Menggambar, membuat grafik, diagram, peta, pola.
(6) Kegiatan-kegiatan metrik: Melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan (simulasi).
(7) Kegiatan-kegiatan mental: Merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, menemukan hubungan-hubungan, membuat keputusan.
(8) Kegiatan-kegiatan emosional: Minat, membedakan, berani, tenang dan sebagainya.(Burton dalam Marni, 2002 : 8)
Aktivitas tersebut di atas tidak saling terpisahkan satu sama lain. Untuk mempelajari suatu mata pelajaraan memerlukan aktivitas belajar yang saling mendukung.
Menurut Nasution (Firman Daus, 2000 : 10), aktivitas belajar dapat meliputi aktivitas visual, lisan, pendengaran, menulis, menggambar, matrik, mental maupun aktivitas motorik. Untuk mempelajari suatu mata pelajaran aktivitas belajar sangat menunjang.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka jelaslah bahwa aktivitas belajar adalah faktor yang paling dominan dalam pengajaran. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa hasil belajar yang optimal dapat tercapai melalui proses belajar yang aktif, dengan mengarahkan segala kemampuan dasar yang dimilikinya demi memperoleh hasil belajar yang diharapkan.
3. Hasil Belajar Siswa
Hasil belajar adalah prestasi yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar yang berkenaan dengan materi suatu mata pelajaran. Hasil belajar ini dapat diukur dengan menggunakan tes hasil belajar. Sedangkan menurut Winkel (dalam Bani, 2004), prestasi sebagai bukti keberhasilan usaha yang dapat dicapai. Belajar merupakan suatu proses yang diarahkan kepada pencapaian suatu tujuan. Tujuan yang dimaksud adalah hasil belajar. Sehingga kualitas hasil belajar adalah mutu atau tingkat prestasi yang dicapai siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar.
Hasil belajar tidak dapat dipisahkan dari apa yang terjadi dalam kegiatan belajar baik di kelas, di sekolah maupun di luar sekolah. Apa yang dialami siswa dalam pengetahuan kemampuannya merupakan apa yang diperoleh. Pengalaman tersebut pada gilirannya dipengaruhi pula oleh faktor - faktor, seperti kualitas, interaksi antar siswa dan guru serta karakteristik siswa pada waktu mendapatkan pengalaman tersebut.
Untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan siswa dalam menguasai bahan pelajaran yang dipelajarinya diperlukan suatu alat ukur. Salah satu bentuk alat ukur yang sering digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa terhadap penguasaan bahan pelajaran adalah berupa tes..
Hudoyo (1990:139) memberikan batasan bahwa :
“Hasil belajar adalah proses berpikir menyusun hubungan hubungan antara bagian bagian interaksi yang telah diperoleh sebagai pengertian karena itu orang jadi memahami dan menguasai hubungan- hubungan tersebut sehingga orang itu dapat menampilkan pemahaman dan penguasaan bahan pelajaran yang dipelajari”.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil yang dicapai siswa dalam pelajaran setelah melakukan kegiatan belajar yang diukur langsung dengan menggunakan tes sebagai pengukuran keberhasilan belajar atau sejauhmana siswa telah menguasai bahan pelajaran yang telah dipelajari.
4.. Model Pembelajaran kooperatif
Motivasi belajar siswa akan meningkat bila ada reevaluasi antara kebutuhan pribadi dengan situasi belajar yang berlangsung (Direktorat SLTP, 2000:6). Ada berbagai kebutuhan yang terkait dengan kegiatan belajar, di antaranya kebutuhan rasa aman. Menurut hasil penelitian Feldhusen dan Klausmeier (dalam Direktorat SLTP, 2000:7) bahwa suasana belajar yang penuh persaingan (kompetitif) menyebabkan para siswa menggunakan sebagian besar energinya untuk menunjang dan mempertahankan keamanan psikologis mereka.
Persaingan dan rasa aman mempengaruhi siswa dengan kadar yang bervariasi berdasarkan kemampuannya dalam belajar. Siswa yang memiliki kemampuan tinggi umumnya lebih dapat menilai ancaman yang timbul dari situasi persaingan. Siswa yang berkemampuan sedang (sebagian besar siswa berada pada level ini) dan siswa yang berkemampuan rendah menjadi semakin cemas sehingga kurang bebas berhubungan dengan guru, materi pelajaran, dan situasi belajar. Kebutuhan rasa aman hanya mungkin dipenuhi jika ada suasana belajar kooperatif yang memungkinkan siswa saling menolong dan saling memberi dorongan moril. Oleh karena itu, guru hendaknya menciptakan suasana belajar di kelas yang kooperatif.
Pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi pembelajaran dengan penekanan pada aspek sosial dalam pembelajaran dan menggunakan kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4 - 6 siswa yang heterogen untuk bersama-sama saling membutuhkan dalam menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan belajar, juga dalam memperoleh penghargaan. Lingkup penyelesaian tugas bukan saja dalam hal menjawab pertanyaan-pertanyaan, tetapi lebih dari itu siswa bernalar berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya dalam pemahaman atas materi yang dipelajarinya. Berarti pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang didasarkan pada paham konstruktivis. Dengan cakupan demikian memberikan peluang pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang melibatkan keaktifan siswa dalam membangun pengetahuannya. Sehingga pembelajaran kooperatif merupakan salah satu alternatif strategi pembelajaran yang dapat membuka fenomena baru dalam kegiatan pembelajaran baik bagi guru maupun siswa. Keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran akan membawa suatu perasaan baru bagi siswa yang akan merasa sangat dihargai keberadaannya. Hal ini disebabkan siswa merasa terlibat di dalam memahami pengetahuan dari materi yang dipelajarinya. Dengan demikian pembelajaran kooperatif menjadi suatu strategi pembelajaran yang dapat memotivasi belajar siswa.
Pembelajaran kooperatif menekankan pada kerja secara kolaboratif. Tentunya berhubungan dengan kelompok. Kelompok yang dibentuk hanya berkisar 4 – 5 orang, berarti kelompok yang dibentuk adalah kelompok kecil. Tujuan dibentuk kelompok kecil adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar.
Kita juga mengenal kelompok belajar dalam pembelajaran konvensional yang diarahkan pada penggunaan metode diskusi. Tetapi kelompok belajar tersebut berbeda dengan kelompok belajar kooperatif. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :
Tabel 1. Perbedaan Kelompok Belajar Kooperatif dengan
Kelompok Belajar Konvensional
Kelompok Belajar Kooperatif Kelompok Belajar Konvensional
Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu, dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif. Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok.
Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan. Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota kelompok lainnya hanya "mendompleng" keberhasilan "pemborong".
Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang memberikan bantuan. Kelompok belajar biasanya homogen.
Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing-masing.
Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong-royong seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan. Keterampilan sosial sering tidak secara langsung diajarkan.
Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok. Pemantauan melalui onservasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung.
Guru memperhatikan secara proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar. Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.
Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai) Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.
(Depdikbud, 2000:90)
Selain siswa belajar secara berkelompok dalam pembelajaran kooperatif (seperti telah diuraikan di atas) terdapat beberapa ciri dari pembelajaran kooperatif yaitu :
a. Setiap anggota memiliki peran.
b. Terjadi hubungan interaksi langsung di antara para siswa.
c. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga anggota sekelompoknya.
d. Guru membantu para siswa untuk mengembangkan keterampilan interpersonal kelompok.
e. Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan (Carin, 1993:63).

Suatu strategi pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Demikian pula dengan pembelajaran kooperatif. Kelebihan dari pembelajaran kooperatif menurut Hill & Hill (1993: 1-6) di antaranya sebagai berikut :
1. Meningkatkan prestasi siswa.
2. Memperdalam pemahaman siswa.
3. Menyenangkan siswa.
4. Mengembangkan sikap positif siswa.
5. Mengembangkan sikap kepemimpinan.
6. Mengembangkan sikap menghargai diri sendiri.
7. Mengembangkan rasa saling memiliki.
8. Mengembangkan keterampilan untuk masa depan.
Menurut Slavin (dalam Ratumanan, 2002:110-111) keuntungan lain yang diperoleh dari penerapan pembelajaran kooperatif, di antaranya adalah :
1. Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok.
2. Siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil bersama.
3. Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok.
4. Interaksi antar siswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat.

Selain keuntungan dan kelebihan yang telah diuraikan di atas pembelajaran kooperatif memiliki keunggulan sehingga sangat penting untuk diterapkan. Alasan penting ini ditujukan terutama bagi efek pembelajaran tersebut bagi siswa yang berdampak positif. Hal ini diuraikan oleh Johnson & Johnson (1994:30) bahwa “Research indicates, however, that cooperative learning should be used whenever teachers want students to learn more, like school better, like each other better, have higher self-esteem, and learn more effective social skills”.
Selain kelebihan tersebut pembelajaran kooperatif juga memiliki kekurangan-kekurangan, menurut Dees (1991:411) di antaranya yaitu :
Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk siswa sehingga sulit mencapai target kurikulum. Membutuhkan waktu yang lama untuk guru sehingga pada umumnya guru tidak mau menggunakan pembelajaran kooperatif. Membutuhkan kemampuan khusus guru sehingga tidak semua guru dapat melakukan atau menggunakan pembelajaran kooperatif. Menuntut sifat tertentu dari siswa, misalnya sifat suka bekerja sama.

Walaupun kelemahan-kelemahan tersebut melekat pada pembelajaran kooperatif, tetapi dapat diminimalkan dengan beberapa tindakan alternatif. Untuk kelemahan yang pertama dan kedua, dalam pembelajaran kooperatif digunakan LKS yang memungkinkan siswa dapat bekerja secara efektif dan efisien. Bagi guru, penggunaan LKS dapat mengurangi dominasi guru dalam menjelaskan materi. Berarti alokasi waktu yang digunakan untuk menjelaskan dapat dikurangi. Selain itu, pengelolaan kelas ke arah siswa aktif dengan segera dapat diwujudkan. Selain itu pembagian kelompok dilakukan sebelum kegiatan pembelajaran dan guru telah menata kelas sesuai dengan kelompok yang ada. Dengan demikian terjadi penghematan waktu yang dibutuhkan. Sedangkan untuk kelemahan ketiga, pada dasarnya guru dapat dilatih terlebih dahulu, sehingga guru telah memiliki kemampuan yang diharapkan. Demikian pula untuk kelemahan keempat, dengan digunakannya pendekatan psikologis, pembelajaran kooperatif akan membentuk sifat-sifat tertentu yang diinginkan sekaligus dapat dilatih. Hal ini didukung dengan pemberian motivasi dan tantangan tugas serta tanggung jawab yang dibebankan kepada tiap kelompok melalui kerja sama anggota-anggotanya.
Guru hendaknya jangan mengasumsikan bahwa siswa menguasai keterampilan-keterampilan sosial atau kelompok untuk bekerja secara kooperatif. Siswa mungkin tidak mengetahui bagaimana saling berinteraksi, bagaimana mengembangkan rencana kerja kooperatif, bagaimana mengkoordinasi sumbangan-sumbangan dari berbagai kelompok, atau bagaimana menilai kemajuan kelompok dalam tugas-tugas tertentu. Untuk menjadikan pembelajaran kooperatif berlangsung sesuai dengan harapan, guru perlu mengajarkan keterampilan-keterampilan kooperatif yang diperlukan.
Ada tiga tingkatan keterampilan kooperatif yang dapat dilatihkan menurut Lungdren (dalam Widada, 1999:32) yaitu keterampilan kooperatif tingkat awal, keterampilan kooperatif tingkat menengah, dan keterampilan kooperatif tingkat mahir. Tetapi dalam tesis ini hanya diambil beberapa dari masing-masing tingkatan tersebut yang dianggap sangat penting, yaitu :
1. Keterampilan kooperatif tingkat awal:
a. Menggunakan kesepakatan dan menghargai kontribusi.
Memiliki kesepakatan yang dijadikan komitmen dalam meningkatkan hubungan kerja kelompok. Saat anggota mengajukan pendapat, ide, atau suatu jawaban patut diperhatikan atau dikerjakan oleh anggota lain dalam kelompok setelah disepakati. Implikasinya, dalam kelompok akan menghasilkan perasaan kebersamaan dalam kelompok tersebut. Merasa satu dalam kelompok.
b. Mendorong partisipasi.
Mendorong partisipasi berarti memotivasi semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok. Jika satu atau dua anggota tidak berpartisipasi atau hanya memberikan sedikit kontribusi, maka tugas dari kelompok tersebut tidak akan terselesaikan tepat pada waktunya atau hasilnya kurang memuaskan.
c. Mengambil giliran dan berbagi tugas.
Menggantikan seseorang yang mengemban tugas tertentu dan mengambil tanggung jawab tertentu dalam kelompok. Implikasinya, setiap anggota kelompok akan tumbuh rasa sebagai anggota kelompok kerja untuk mencapai suatu tujuan bersama.
d. Berada dalam tugas dan kelompok.
Meneruskan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga akan terselesaikan pada waktunya dengan ketelitian yang lebih baik dan kreatif. Berada dalam kelompok berarti tetap dalam kelompok selama kegiatan berlangsung. Implikasinya, kelompok akan lebih bangga terhadap peningkatan efisiensi dan efektifitas dalam mempersiapkan dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan.
2. Keterampilan kooperatif tingkat menengah:
a. Mendengarkan dengan aktif.
Jika mendengar dengan aktif maka siswa akan mampu menggunakan pesan fisik dan lisan, sehingga pembicara akan tahu bahwa orang lain secara giat sedang menyerap informasi. Pengertian dari suatu konsep akan meningkat dan hasil kelompok akan menunjukkan tingkat pemikiran dan komunikasi yang tinggi. Sebagai implikasinya, perasaan bangga bagi siswa yang memberikan partisipasi akan merasa bahwa apa yang mereka sumbangkan itu berharga, paling tidak ia akan merasa dihargai pendapatnya.

b. Bertanya.
Maksud dari bertanya adalah meminta atau menanyakan suatu informasi atau penjelasan lebih lanjut. Dengan bertanya sesorang yang sedang tidak aktif dapat dimotivasi untuk ikut serta, termasuk anggota kelompok yang pemalu. Dari hal ini berarti memperbaiki kemampuan komunikasi, juga interaksi.
c. Menafsirkan.
Menafsirkan berarti menyatakan kembali informasi dengan kalimat berbeda. Ini akan menimbulkan pemahaman yang lebih, sebab apa yang diperoleh diungkapkan dengan cara yang berbeda.
d. Memeriksa ketepatan.
Membandingkan jawaban dan memastikan bahwa jawaban itu benar. Pekerjaan akan cenderung bebas dari kesalahan dan kekurang tepatan. Pemahaman akan berkembang. Hal ini berakibat siswa menjadi kritis dan hasil kelompok akan lebih baik.
3. Keterampilan kooperatif tingkat mahir:
Mengelaborasi, maksudnya adalah mampu memperluas konsep, kesimpulan, dan pendapat-pendapat yang berhubungan dengan topik tertentu. Keterampilan ini penting karena akan menghasilkan pemahaman yang lebih dalam dan prestasi yang lebih tinggi.
Semua keterampilan kooperatif tersebut (tidak langsung keseluruhan) dilatihkan guru dalam kegiatan pembelajaran, tetapi dapat dipilih sedikit demi sedikit yang dianggap sesuai dengan kepentingan hingga mencapai harapan dan seluruh keterampilan kooperatif.
5. Tutor Sebaya
Tutor sebaya terdiri atas dua suku kata yaitu tutor dan sebaya. Pengertian tutor banyak dikemukakan oleh ahli pendidikan, seperti yang dikemukakan oleh Nasution (1992:4) (dalam Abi Masiku (2003:9)) bahwa tutor adalah orang yang membantu murid secara individual.
Hamalik (1991:73) (dalam Abi Masiku (2003:10)) mengemukakan bahwa tutorial adalah bimbingan pembelajaran dalam bentuk pemberian bimbingan, bantuan, petunjuk, arahan, dan motivasi agar siswa dapat efisien dan efektif dalam belajar.
Sedangkan pengertian sebaya dalam kehidupan sehari–hari dapat diartikan sama umur, hampir sama, sejajar, dan seimbang. Jadi tutor sebaya adalah siswa pembantu guru dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Sebagaimana dikemukakan oleh Conny Semiawan dkk (1987:70) bahwa:
“Dasar pemikiran tutor sebaya adalah siswa yang pandai dapat memberikan bantuan kepada siswa yang kurang pandai. Bantuan tersebut dapat dilakukan pada teman sekelasnya di sekolah dan/ atau sekelasnya di luar kelas”.

Hal yang sama dikemukakan oleh Arikunto (1986:62) bahwa :
Adakalanya seorang siswa lebih mudah menerima penjelasan yang diberikan oleh kawan sebangku atau kawan yang lain karena tidak adanya rasa enggan atau malu untuk bertanya. Apabila demikian keadaannya, maka guru dapat meminta bantuan kepada siswa yang dapat menerangkannya kepada kawan–kawannya untuk melaksanakan program perbaikan.

Interaksi antara kawan membuka mata anak terhadap pola tingkah laku yang berlaku dalam kebudayaan tertentu, yang sering dilakukan. Dengan demikian, interaksi ini cenderung untuk mempelajari bentuk-bentuk tingkah laku yang dipakai untuk pergaulan yang berlaku. Interaksi antara kawan itu menyebakan tersedianya contoh yang lebih representatif tentang apa yang boleh dilakukan dalam kebudayaan itu dibanding dengan yang tersedia di rumah. (Muntasir: 1985:83 (dalam Sarmawati 2002).
Dengan kata lain tugas sebagai tutor merupakan kegiatan yang kaya akan pengalaman yang justru sebenarnya merupakan kebutuhan anak itu sendiri sebagaimana yang dikemukakan oleh Crombach (dalam Muntasir (1985 :84)) bahwa :
“Dalam banyak program pentutoran, tutor-tutor itu merupakan guru-guru non profesional. Mereka dapat berupa siswa yang beberapa tahun saja lebih tua dari yang ditutori. Atau mungkin tutor itu adalah seorang dewasa tanpa latihan khusus kecuali bagian dari kerangka menjadi tutor itu.

Berikut ini akan dikemukakan manfaat dari kegiatan tutoring menurut Djamarah (1996 :31) (dalam Sarmawati 2002) yakni :
a. Ada kalanya hasil yang diperoleh lebih baik bagi beberapa anak yang mempunyai perasaan takut atau enggan kepada gurunya.
b. Bagi tutor, pekerjaan tutoring mempunyai akibat memperkuat konsep yang sedang di bahas. Dengan memberitahukan anak lain, maka seolah-olah ia menelaah serta menghafalkannya kembali.
c. Bagi tutor merupakan kesempatan untuk melatih diri memegang tanggung jawab dalam mengemban suatu tugas dan melatih kesabarannya.
d. Memperekat hubungan antara sesama siswa sehingga mempertebal perasaan sosial.
Namun disamping kebaikan tersebut, ada kesulitan dalam melaksanakan pekerjaan tutoring menurut Djamarah (1996 :31) (dalam Sarmawati 2002), yakni :
a. Siswa yang dibantu sering belajar kurang serius, karena hanya berhadapan dengan kawannya, sehingga hasilnya kurang memuaskan.
b. Ada beberapa anak yang menjadi malu untuk bertanya karena takut rahasianya diketahui temannya.
c. Pada kelas-kelas tertentu pekerjaan tutoring ini sukar dilaksanakan, karena perbedaan kelamin antara tutor dengan siswa yang diberi program perbaikan.
d. Bagi guru sukar untuk menentukan seorang tutor yang tepat bagi seorang atau beberapa siswa yang harus dibimbing.
e. Tidak semua siswa yang pandai atau cepat waktu belajarnya akan dapat mengajarkannya kembali kepada kawan-kawannya.
Wujud belajar dengan menggunakan tutor sebaya pada dasarnya merupakan kombinasi dari pengajaran klasikal dalam kelompok siswa yang besar dengan kelompok siswa yang kecil. Dalam setiap kelompok, terdapat siswa yang pandai sehingga masalah yang dihadapi dalam proses pembelajaran dapat dituntaskan. Dalam pelaksanaan pengajaran mereka berusaha mendapatkan hubungan dan pergaulan baru yang merupakan interaksi yang mengarah kepada pola yang berlaku.
Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam pembelajaran matematika yang menerapkan metode belajar kelompok dengan tutor sebaya adalah sebagai berikut :
1. Memilih tutor sebanyak 5 orang dengan syarat :
a. Termasuk dalam peringkat 10 terbaik berdasarkan nilai rapor atau nilai evaluasi sebelumnya.
b. Dapat menguasai materi pelajaran.
2. Mengelompokkan sisiwa menjadi 5 kelompok.
3. Pengelompokan dilakukan menurut tingkat kecerdasan siswa, yaitu setiap kelompok terdiri dari siswa pandai, sedang dan kurang.
4. Membahas beberapa contoh soal yang berhubungan dengan materi yang diajarkan.
5. Memberikan bimbingan sesuai dengan kesulitan yang dihadapi siswa dengan bantuan tutor sebaya.
6. Mengisi lembar observasi, pengamatan, dan pengidentifikasian siswa selama kegiatan belajar mengajar antara lain : absent, dan keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar.
Di atas telah dijabarkan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam pembelajaran matematika yang menerapkan metode belajar kelompok dengan tutor sebaya. Di bawah ini akan dipaparkan sekilas tentang langkah-langkah yang digunakan dalam pembelajaran kooperati learning yang mana merupakan kombinasi antara metode kooperatif learning itu sendiri dan metode belajar kelompok dengan menggunakan tutor sebaya. Adapun langkah-langkah yang dipergunakan adalah sebagai berikut :
Fase -1 :
Guru sebelum jam pembelajaran telah memilih 5 dari 20 siswa yang dianggap mampu/cakap menjadi tutor sebaya. Kelima siswa tersebut diberi pengayaan/bimbingan khusus diluar jam pembelajaran tentang materi yang akan dipelajari.

Fase - 2 :
Sebelum menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, terlebih dahulu guru menjelaskan metode pembelajaran yang akan digunakan. Kemudian guru menyampaikan tujuan pemelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

Fase – 3 :
Guru menyajikan informasi materi kepada siswa dengan jalan ceramah atau lewat bahan bacaan.

Fase – 4 :
Guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar. Dengan menempatkan satu orang tutor sebaya di tiap kelompok.
Fase – 5 :
Guru memantau kegiatan kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka dengan kerjasama dengan tutor sebaya..

Fase – 6 :
Guru melakukan evaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Fase – 7 :
Guru memberi penilaian proses/ kinerja kelompok dan performans anggotanya.

6. Materi Bahan Ajar
Dalam pembahasan materi bahan ajar ini, hanya akan diuraikan tentang materi yang akan diuraikan tentang bahan ajar yang akan diajarkan selama penelitian ini berlangsung yakni standar kompetensi Menerapkan aturan konsep statistika dalam pemecahan masalah dengan beberapa kompetensi dasar hal-hal sebagai berikut :
• Mengidentifikasi pengerti-an statistik, statistika, populasi dan sampel
• Menyajikan data dalam bentuk tabel dan diagram
• Menentukan ukuran pemusatan data
• Menentukan ukuran penyebaran data
Contoh materi menentukan Mean (Nilai rata-rata)
a. Data Tunggal.
Bila ada sekelompok data x1, x2, ....... xn

Contoh:
Carilah mean dari data 3, 6, 7, 4, 4, 5, 7, 8, 10
Jawab:


b. Data yang dikelompokkan.
Sekelompok data yang dikumpulkan dapat disusun ke dalam kelas-kelas.

Interval kelas adalah data-data suatu kelas.
Jangkauan selisih data yang besar – data yang kecil.
Contoh:
Data yang paling besar 99. Data yang terkecil 40.
Jangkauan = 99 – 40 = 59
Banyak kelas kita buat 6
Interval kelas dibulatkan 10.

b.1. Menghitung rata-rata (mean) dengan menggunakan titik tengah.
Misal titik tengah kelas = 
Frekuensi = f
f.x = jumlah perkalian f dengan 
maka
n = jumlah frekuensi = f
Contoh:
Tabel. 2
Kelas Nilai Titik Tengah F f.x Keterangan:
I 40 – 49
6 267 Kelas I = 40 – 49
Interval kelas dari 40 s.d 49
f = banyaknya data yang termasuk kelompok kelas.
II 50 – 59 54,5 5 272,5
III 60 – 69 64,5 8 516
IV 70 – 79 74,5 11 819,5
V 80 – 89 84,5 5 422,5
VI 90 - 99 94,5 5 472,5
f=40 fx=2770

b.2. Menghitung rata-rata (mean) dengan menggunakan rata-rata sementara.
Misal rata-rata sementara (perkiraan) = Rs.
Besarnya diambil sembarang pada besar titik tengah.

d = titik tengah – Rs.
Contoh:
Lihat data-data pada tabel b.1. Kita ambil Rs = 64,5
Catatan, bila kita ambil Rs = 74,5 maka setelah diperhitungkan dengan cara yang sama akan didapat yang sama.
Tabel. 3
Nilai Titik Tengah x F d f.d
40 – 49 44,5 6 44,5 – 64,5 = -20 6 x (-20) = -120
50 – 59 54,5 5 54,5 – 64,5 = -10 5 x -10 = -50
60 – 69 64,5 8 64,5 – 64,5 = 0 8 x 0 = 0
70 – 79 74,5 11 74,5 – 64,5 = 10 11 x 10 = 110
80 – 89 84,5 5 84,5 – 64,5 = 20 5 x 20 = 100
90 - 99 94,5 5 94,5 – 64,5 = 30 5 x 30 = 150
f=40 f.d = 190
Maka


B. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini adalah “Dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif tutor sebaya, maka aktivitas dan hasil belajar matematika siswa kelas III Otomotif 2 SMK Negeri 1 Galesong Selatan dapat mengalami peningkatan”.




METODE PENELITIAN
A. Setting Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan rancangan penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yang meliputi perencanaan, tindakan, observasi/ evaluasi dan refleksi., yang dilakukan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam PBM dengan penerapan pembelajaran kooperatif tutor sebaya. Subjek penelitian adalah siswa kelas III jurusan Otomotif 2 SMK Negeri 1 Galesong Selatan, dengan jumlah 25 orang siswa.

B. Rencana Tindakan

Penelitian ini bersifat kajian tindakan kelas, rencana tindakan berupa intervensi kegiatan belajar mengajar di kelas dengan penerapan pembelajaran kooperatif tutor sebaya. Untuk maksud tersebut tindakan akan dilaksanakan selama enam kali pertemuan. Setiap pertemuan menggunakan waktu 3 x 45 menit. Penelitian direncanakan selama dua siklus, dengan sasaran perbaikan adalah aktivitas dan hasil belajar siswa dengan model pembelajaran kooperatif tutor sebaya. Oleh karena itu yang terlibat langsung melakukan perbaikan adalah siswa Jurusan Otomotif 2 SMK Negeri 1 Galesong Selatan.
C. Tahap Pelaksanaan
Pada penelitian ini direncanakan pelaksanaannya selama dua siklus dengan perincian sebagai berikut :
a. Siklus I
1) Perencanaan
Siklus ini dilaksanakan selama 3 pekan sebanyak 3 kali pertemuan dengan tahap sebagai berikut :
 Telaah kurikulum SMK Negeri 1 Galesong Selatan mata pelajaran matematika.
 Membuat skenario pembelajaran.
 Membuat pedoman observasi.
 Membuat dan menyusun alat evaluasi.
 Mengelompokkan siswa dalam pembelajaran yang anggotanya memiliki taraf kecerdasan yang heterogen.
 Penulis memilih satu dari masing–masing kelompok untuk menjadi tutor sebaya.
2) Pelaksanaan Tindakan
 Pada awal kegiatan pembelajaran guru mengidentifikasikan siswa berdasarkan tingkat hasil belajar matematika (menurut penilaian guru).
 Mengelompokkan siswa berdasarkan tingkat hasil evaluasi akhir belajar matematika.
 Memberikan bimbingan sesuai dengan kesulitan yang dihadapi siswa dengan bantuan tutor sebaya.
 Siswa diberi kesempatan bertanya tentang materi yang belum dimengerti.
 Siswa diberi soal–soal dan dikerjakan bersama–sama sesuai kelompok dengan bimbingan tutor sebaya.
3) Observasi dan evaluasi
a). Selama proses pembelajaran akan diadakan pengamatan tentang ;
 Keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran.
 Banyak siswa yang bertanya tentang materi yang belum dimengerti.
 Keaktifan siswa menjawab pertanyaan yang diberikan.
b). Hasil dari tindakan dievaluasikan dengan tes akhir siklus setelah 3 kali pertemuan.
4) Refleksi
Dari hasil observasi dan hasil evaluasi dianalisis untuk melihat sejauh mana faktor–faktor yang diselidiki telah tercapai. Hal–hal yang masih belum berhasil ditindak lanjuti pada Siklus II dan yang sudah baik dilanjutkan.
b. Siklus II
Pada dasarnya hal–hal yang dilakukan pada siklus kedua ini adalah mengulang kembali tahap–tahap yang dilakukan pada siklus sebelumnya, disamping itu dilakukan juga sejumlah rencana baru untuk memperbaiki atau merancang tindakan baru sesuai dengan pengalaman yang diperoleh pada siklus sebelumnya.
1. Tahap Perencanaan
a). Melanjutkan tahap–tahap perencanaan yang dilakukan pada siklus I yang dianggap perlu untuk memecahkan persoalan pada siklus II.
b). Dari hasil refleksi serta tanggapan yang diberikan siswa, guru menyusun rencana baru yang akan dibuatkan tindakan.
c). Meningkatkan bimbingan tutor sebaya yaitu di sekolah dan di rumah.
2. Tahap Tindakan
Tindakan pada siklus II ini adalah melanjutkan langkah–langkah yang telah dilakukan pada siklus I. Adapun tindakan yang dimaksud yaitu :
a). Melanjutkan bimbingan tutor sebaya yang berkaitan dengan materi yang di ajarkan.
b. Melakukan perbaikan dan penyempurnaan dari persoalan yang mungkin muncul pada siklus I seperti pengaturan tempak duduk, jarak antara kelompok, dan guru proaktik dalam memberi bantuan kepada kelompok atau tutur yang mengalami hambatan.
D. Cara Pengumpulan Data
1. Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dari siswa yang menjadi subjek penelitian, yaitu siswa Kelas III Otomotif 2 SMK Negeri 1 Galesong Selatan.
2. . Jenis Data
Data kualitatif
Data kuantitatif
3. Cara Pengambilan Data
- Lembar aktivitas siswa, digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas yang dilakukan siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
- Data hasil belajar diperoleh dengan memberikan tes akhir kepada siswa setiap akhir siklus dianalisis secara kuantitatif.
E. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif. Untuk analisis kuantitatif digunakan deskriptif yaitu rata–rata skor dan persentase. Selain itu akan dibentuk pula standar deviasi, tabel frekuensi dan persentase, nilai minimum dan maksimum yang siswa peroleh pada setiap pokok bahasan.
Adapun untuk keperluan analisis kualitatif akan digunakan teknik kategorisasi tingkat penguasaan hasil belajar Nurkancana (1986 :80) (dalam Marlina (2003 :25) yaitu tingkat penguasaan siswa dimana 00 % - 54 % dikategorikan sangat rendah, (buruk), 55 % - 64 % dikategorikan rendah, 65 % - 79 % dikategorikan sedang, 80 % - 89 % dikategorikan tinggi, dan 90 % - 100 % dikategorikan sangat tinggi.

F. Indikator Kinerja
Yang menjadi indikator keberhasilan penelitian tindakan kelas ini bila terjadi peningkatan kualitas pembelajaran yakni :
• Peningkatan kualitas proses yang terdiri dari :
1. Kehadiran siswa meningkat
2. Aktivitas belajar matematika semakin meningkat.
• Peningkatan kualitas hasil yang menyangkut skor rata-rata hasil tes belajar siswa kelas III Otomotif 2 SMK Negeri 1 Galesong Selatan, dimana hasil tes belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan jumlah siswa yang tuntas belajar. Ketuntasan belajar disesuaikan dengan nilai Kriteria Ketuntasan Minimal Matematika SMK N 1 Gal-Sel yakni minimal 65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(b)